Kamis, 09-03-2017, Proyek ini sendiri merupakan keberlanjutan dari hutang yang diberikan Bank Dunia kepada PT. SMI (Sarana Multi Infastruktur), sebagai bentuk kepersertaan modal melalui PT. IIF, yang menggunakan model Kerjasama Swasta Badan Usaha (KSBU) atau Public Private Partnership (PPP) untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dukungan Modal untuk RIDF sebesar USD 400 juta, terdiri dari USD 100 juta berasal dari AIIB, USD 100 juta berasal dari Bank Dunia, dan USD 200 juta dari kontribusi ekuitas PT. SMI.
Subproyek infrastruktur yang didanai oleh sub-pinjaman di bawah proyek RIDF yang diusulkan sebagai solusi pembiayaan untuk infrastruktur perkotaan, yang meliputi serangkaian investasi sektor nasional vertikal dan program bantuan teknis untuk: (I) Sistem transportasi perkotaan; (II) Penyediaan air perkotaan dan sanitasi; (III) Drainase, banjir dan risiko bahaya; (IV) Perbaikan permukiman kumuh dan resiko bahaya; dan (V) Sistem pengelolaan sampah. Sasaran sektor yang akan didanai dalam proyek RIDF ini sesuai dengan rencana pemerintah dalam Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (RAPBN) 2017, dimana salah sasaran umum pembangunan yang diharapkan dapat dicapai dari fungsi perumahan dan fasilitas umum pada tahun 2017, diantaranya yaitu: (1) meningkatnya akses Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terhadap hunian layak melalui pembangunan 11.400 unit rumah susun sewa; (2) meningkatnya akses terhada playanan air minum dan sanitasi yang layak dan berkelanjutan melalui pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) sebanyak 872.290 sambungan rumah; dan (3) berkurangnya kawasan permukiman kumuh melalui pemenuhan kebutuhan hunian dan permukiman yang layak seluas 17.668 ha
Permasalahannya, selain ini adalah hutang, jika melihat Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial dalam proyek RIDF ini berpotensi menggunakan Country Safeguards System (CSS) Indonesia, yag berarti akan menggunakan standar UU Indonesia untuk pelaksanaannya (UU Pengadaan Tanah misalnya).
Terhadap isi dari ESMF, terdapat catatan- catatan penting yang menjadi perhatian, diantaranya: 1) Dokumen ESMF tidak tersedia dalam Bahasa Indonesia, sehingga minim konsultasi publik; 2) Tidak Mencantumkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); 3) ESMF Tidak Merujuk UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup; dengan tidak mencantumkan UU 32/2009, sehingga Bank Dunia – AIIB sangat mungkin akan merusak lingkungan; 4) Berpotensi ciptakan konflik tanah, karena pembangunan infrastruktur lingkungan, pembangunan terminal bus, atau bahkan pengentasan kawasan kumuh, mendasarkan pada hukum Indonesia, yang notabene banyaknya aturan Indonesia sangat memberatkan di pihak warga/masyarakat (Perpres 148/2015 dll)